Pesenggekh atau Pesengger yang kelak menjadi Pesenggiri atau lengkapnya sebagai Falsafah Piil Pesenggiri itu berasal dari mekanisme desa tetapi bernuansa kekotaan dan dari pilihan bahasa yang digunakan ternyata tidak terlalu terikat dengan suasa dan mental perkampunga atau pedesaau yang agraris, juga bermental kekotaan dan industrialis. Tetapi uraian berikut ini kita akan meneropong suasana dan situasi yang dihadapi oleh masyarakt yang memanfaatkan fasilitas jalan pada beberapa abad sebelum mencapai Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada saat Falsafah Piil Pesenggiri tersusun. Dalam hal ini maka keberadaan Kiyai atu Ustad tentu saja harus kita eksploitir karena pada saat itu sedang terjadi aktivitas dakwah yang gencar sehingga kelak setelah Kemerdekaan jumlah penganut agama Islam emcapai 90%, akan kita bandingkan dengan hasil penelitian ditemukan bahwa 90% masyarakat pada saat itu mengalami buta huru, sedangkan dalam waktu yang bersamaan ternyata 80% dari ummat Islam sudah mahir membaca Al-Quran.
Kita bisa bayangkan betapa panjangnya sebuah perianan dakwah pada saat untuk membuat ummat melek huruf al-Quran, demikian panjang dan seringnya perjalanan dakwah itu dilaksanakan, tetapi sejak dahulu sudah menjadi rahasia umum bahwa dakwah itu diselenggarakan justeru oleh para pedagang. Kemampuan masyarakat kota hingga jauh di desa desa di balik balik pegunungan atau dilembah lembah hingga garius pantai memiliki kemampuan membaca Quran dengan lancar, dan buta huruf Latin tidak menjadi masalah bagi ujmmat untuk merasa akrab dengan hurup alquran, apalagi pembelajaran membaca al Qyran itu sejatinya diselenggarakan oleh para saudagar yang memimpin semua perjalanan perbiagaan, siang mereka berdagang dan malam mereka melaksanakan pengajian, baik belajar mengaji Quran maupun terjemahan, fikih, tauhid, hadits serta tarikh Islam dan lain lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar