Selasa, 29 Januari 2019

MENOLAK DIAJAK DISKUSI PIIL PESENGGIRI.

SEORANG ANAK MUDA atau setidaknya usianya jauh di bawah saya, saya taksir usianya maksimal 30 tahun-an sedang usia saya sekarang 65 tahu. Saya menawarkan dia ikut diskusi tentang Piil Pesenggiri, dia menolak ... dengan alasan dia memiliki keyakinan akan kebenaran rumusan Piil Pesenggiri yang katanya beda dengan rumusan yang sering saya sampaikan diberbagai kesempatan. Tak cocok berdiskusi dengan saya, saya punya rumusan berbeda. Lalu Ia mengirim rumusan Piil Pesenggiri yang diyakininya dari sumber Kitab Kuntara Rajaniti dan Raja Asa.


Tetapi saya tidak memaksa ... saya menghargai dengan prinsipnya itu, tetapi saya yakin se yakin yakinnya bahwa Dia belum memahami dengan apa yang saya maksudkan, karena dalam mengajak saya sudah memberikan gambaran prihal diskusi yang saya selenggarakan. Bahwa diskusi ini hanya FGD (Focus Grup Discussion) tidak membuka perdebatan, hanya membicarakan masalah yang sama, selain mencari kesamaannya, diperbolehkan untuk memeiliki prospektif yang beda dan sebagainya, tetpi  kesemuanya itu akan dirangkai dalam satu youtube sebagai hasil  Tak menjadi masalah. jika isinya "Pro - Kontra"

Karena pendekatan kita dalam diskusi ini adalah Fislafat, maka perbedaan bukan sesuatu yang diharamkan, Perbedaan itu adalah rahmat, adalah kekayaan dan bahkan kemewahan dalam berfikir, dan kemewahan dalam informasi. Keragaman pemikiran nenek moyang pendahulu kita pada waktu itu adalah kehormatan yang tak ada taranya di mata kita sebagai generasi penerusnya.

Pidato penutupan yang disampaikan oleh Budayawan Rosihan Anwar dalam mewakili Medikbud ketikaLampung menyelenggarakan Dialog Kebudayaan daerah Lampung Tahun 1989 yang memang semula saya anggap musibah. Akan saya Sampaikan Kepada Bapak Mendikbud bahwa ada satu masalah kebudayaan di Lampung yang belum dapat diselesaikan dalam  Dialog yaitu Piil Pesenggiri, Kata Rosihan Anwar. 

Anda bisa membayangkan betapa merah padamnya wajah saya mendengar kalimat itu, sepertinya sia sialah apa yang dilakukan oleh Kanwil Depdikbud dalam mepersiapkan "Dialog Kebudayaan Lampung tahun 1989 itu"  Dengan degupan gemuruh di dada, dengan nada kecewa saya sampaikan seusai acara kepada Bpk. Rosihan Anwar bahwa " Piil Pesenggiri itu Adalah Salah satu Puncak Puncak Kebudayaan di Lampung".  Jawab Rosihan   " Anda dengar sendiri apa yang diucapkan oleh Para Peserta Tentang Piil Pesenggiri"  Bumm .... merah padamlah muka saya. Rosihan Anwar mengetahui bahwa saya kecewa, lalu beliau menambahkan. Tuliskan selengkapnya tentang Piil Pesenggiri kirim ke Menteri satu dan kirim ke saya kopynya. Sayang saya tak memiliki nyali untuk berkirim kiriman.

Sampai pada suatu waktu saya ditugaskan untuk menuliskan tentang Piil Pesenggiri, sesuai dengan perintah Kakanwil Depdikbud Saya menuliskan Piil Pesenggiri itu dengan pendekatan Filsafat, bukan dengan pendekatan adat istiadat seperti yang ditampilkan  dalam Dialog Kebudayaan Daerah Lampung pada saat itu. Dengan pendekatan Filsafat maka hati akan terbuka menerima perbedaan. Memang kelompok adat tak begitu saja menerimanya, bahkan banyak yang menolaknya. Tetapi memang karakter filsafat adalah harus paling siap menerima perbedaan.

Ketika saya menulis itu saya mendapatkan bayaran sebesar Rp. 7.500.000,- (Tujuh juta Lima Ratus Ribu Rupiah)  potong pajak resmi serta biaya sawer sawer persahabatan kepada kanan-kiri bahkan atas bawah seperti layaknya  persahabatan di zaman Orde Baru walaupun total tak lebih dari 20%  hahaha ... sungguh saya merasakan bahwa perbedaan itu adalah benar benar rahmat dari Tuhan, barokalloh ...)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar